PERAN, KLASIFIKASI, DAN
TINGKATAN GURU
DALAM PRAKTIK
PENDIDIKAN
A.
Peran Guru dalam Proses Pendidikan
Efektivitas dan efisiensi belajar individu di sekolah sangat bergantung
kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan
secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
1. Konservator (pemeliharaan) sistem nilai yang merupakan
sumber norma kedewasaan
2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu
pengetahuan
3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai
tersebut kepada peserta didik
4. Transformator (penerjemah) sistem-sistem nilai
tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses
interaksi dengan sasaran didik
5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses
edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak
yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta
Tuhan yang menciptakannya)
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan
mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses
pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1.
Guru
sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan
apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching
problems)
2.
Guru
sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat
menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan
kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai
orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana
dalam arti demokratik & humanistik selama proses berlangsung (during teaching problems)
3.
Guru
sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan,
menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan, atas
tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan,
baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin
Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu
mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar,
melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus
membantu pemecahannya.
Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di
sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang
pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik,
pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga,
guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator).
Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan
aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi, dan dari sudut
pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan,
guru berperan sebagai:
1. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai
pendidikan
2. Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan
sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan
3. Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai
bahan yang harus diajarkannya
4. Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar
para peserta didik melaksanakan disiplin
5. Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru
bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik
6. Pemimpin generasi muda, artinya guru
bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi
muda yang akan menjadi pewaris masa depan
7. Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru
berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
kepada masyarakat
Dipandang dari segi diri-pribadinya (self oriented),
seorang guru berperan sebagai:
1.
Pekerja
sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan
pelayanan kepada masyarakat
2.
Pelajar
dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus
untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya
3.
Orang tua,
artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di
sekolah
4.
Model
keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara
peserta didik
5.
Pemberi
keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman
berada dalam didikan gurunya
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai:
1. Pakar psikologi pendidikan, artinya guru
merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya
dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik
2. Seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang
yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya
dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan
3. Pembentuk kelompok (group
builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan
aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan
4. Catalyc
agent atau inovator, yaitu
guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat
suatu hal yang baik
5. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab
bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik
Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002)
mengemukan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan
keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di
sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses
pembelajaran, seperti: tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di
kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan
guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber
belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses
pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru
pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan
profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan
proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi
satu-satunya orang yang paling well informedterhadap
berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi
dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang
yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang
demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia
akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun
masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu
berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan
pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping
itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas
pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan
guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah
efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya.
Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru
untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan
dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang
berlangsung.
B. Klasifikasi Tenaga Guru
Telah disyaratkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen bahwa untuk dapat memangku jabatan guru, minimal memiliki kualifikasi
pendidikan D4/S1. Namun dalam kenyataannya saat ini kualifikasi pendidikan guru
di Indonesia memang masih beragam. Dalam hal ini, Conny Semiawan (Sudarwan
Danim, 2002), memilah keberadaan tenaga guru di Indonesia ke dalam tiga jenis
secara hierarkis, yaitu:
1. Guru sebagai tenaga profesional yang berkualifikasi pendidikan
sekurang-kurangnya S1 (atau yang setara), memiliki wewenang penuh dalam
perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian pendidikan/ pembelajaran.
2. Guru sebagai tenaga semi profesional, yang berkualifikasi pendidikan D3 (atau yang
setara) yang telah berwenang mengajar secara mandiri tetapi masih harus
melakukan konsultasi dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi jenjang
profesionalnya, baik dalam hal perencanaan pelaksanaan, penilaian dan
pengendalian pendidikan/ pembelajaran.
3. Guru sebagai tenaga paraprofesional, yang berkualifikasi pendidikan tenaga
kependidikan D2 ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam perencanaan,
pelaksanaan, penilaian dan pengendalian/ pembelajaran.
C. Tingkatan Praktik Pembelajaran
Sementara itu, dalam praktik pembelajaran pun tampaknya masih terjadi
keragaman. Dengan mengadopsi pemikiran Prayitno (2005) tentang lima tingkatan
praktik dalam konseling, di bawah ini dijelaskan secara singkat tentang lima
tingkatan praktik pembelajaran, sebagai berikut:
1.
Tingkat pembelajaran pragmatik.
Tingkat pembelajaran pragmatik yaitu pembelajaran yang diselenggarakan guru
dengan menggunakan cara-cara yang menurut pengalaman guru pada waktu terdahulu
dianggap memberikan hasil yang optimal, meskipun cara-cara tersebut sama sekali
tidak berdasarkan pada teori tertentu.
2.Tingkat
pembelajaran dogmatik
Pada tingkat pembelajaran dogmatik, praktik pembelajaran yang dilakukan
guru telah menggunakan pendekatan berdasarkan teori tertentu, namun pendekatan
tersebut dijadikan dogma untuk segenap kepentingan proses pembelajaran siswa.
3.
Tingkat pembelajaran sinkretik
Pada tingkat pembelajaran sinkretik, pembelajaran yang diselenggarakan guru
telah menggunakan sejumlah pendekatan pembelajaran, namun penggunaan pendekatan
tersebut bercampur aduk tanpa sistematika ataupun pertimbangan yang matang.
Pendekatan-pendekatan tersebut sekedar dicomot dan diterapkan dalam kegiatan
pembelajaran tanpa memperhatikan relevansi dan ketepatannya.
4.
Tingkat pembelajaran eklektik
Dalam penyelenggaraan pembelajaran eklektik, guru telah memiliki pemahaman
yang mendalam tentang berbagai pendekatan pembelajaran dengan berbagai
teknologinya, dan berusaha memilih serta menerapkan sebagian atau satu kesatuan
pendekatan beserta teknologinya sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan
belajaran siswa. Pendeketan-pendekatan tersebut tidak dicampur aduk, namun
dipilah-pilah, masing-masing diplih secara cermat untuk kepentingan
pembelajaran siswa. Penyelenggaraan pembelajaran eklektif tidak mengangungkan
atau menjadikan suatu pendekatan pembelajaran tertentu sebagai dogma. Dengan
demikian, dalam penyelenggaraan pembelajaran eklektif, guru mengetahui kapan
menggunakan atau tidak menggunakan pendekatan pembelajaran tertentu.
5.
Tingkat pembelajaran mempribadi
Tingkat pembelajaran yang mempribadi mempunyai ciri-ciri: (1) penguasaan
yang mendalam terhadap sejumlah pendekatan pembelajaran beserta teknologinya,
(2) kemampuan memilih dan menerapkan secara tepat pendekatan berserta
teknologinya untuk kepentingan pembelajaran siswa, dan (3) pemberian warna
pribadi yang khas sehingga tercipta praktik pembelajaran yang benar-benar
ilmiah, efektif, produktif, dan unik.
Sumber:
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan; Dalam Upaya
Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka
Setia.
Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita.
Padang: FIP Universitas Negeri Padang
No comments:
Post a Comment