Tuesday, August 15, 2017
IRONI KEMERDEKAAN (Surat Terbuka untuk Presidenku, Pak Jokowi)
Mendekati peringatan kemerdekaan RI yang jatuh pada setiap 17 Agustus, riuh rendah perayaan mulai terasa.
Penanaman nilai moral dan kebangsaan terasa lebih cepat tumbuh setiap kali mendekati perayaan tujuh belasan.
Sang Saka berdiri perkasa hampir di setiap bilik dan rumah.
Bangsa dengan adat ketimuran ini tampak berkilauan memancarkan keagungan pribadinya, sontak membuat serdadu lain angkat topi dan berhenti tertawa.
72 tahun merdeka, lantas apakah membuat kita dewasa dalam berkebangsaan.
Masihkah kita berbudaya adi luhung?
Wajah tanah ini mulai tercabik oleh absolutisme demokrasi.
Mengapa demikian?
Bapak Presiden, saya adalah seorang guru SD yang ingin mengajak Bapak untuk bersama melihat.
Terkadang kita menjadi tiba-tiba buta dan bahkan tuli ketika orang lain mulai mencoreng wajah Pancasila, hanya demi gelak tawa.
Lihatlah, Pak!
Ketika perayaan kemerdekaan berubah kiblat ke arah pelecehan seksual, dan berpasang-pasang mata anak didik kami menganggap itu sebuah lelucon.
Hati kecil saya menangis, Pak.
Mengapa kita yang dikenal berbudaya ketimuran harus ikut menorehkan tinta hitam di muka Pancasila?
Apa yang sesungguhnya ada dalam pikiran orang-orang dewasa, panitia, dan pesertanya?
Pak Presiden,
Saya tidak heran ketika acara tersebut disuguhkan oleh orang dari negara lain.
Namun saya kaget ketika menyaksikan melalui media sosial, sebuah tontonan dari anak bangsa yang katanya itu perlombaan, tampak laki-laki memecahkan balon di (maaf) pantat wanita. Apakah hanya saya yang menganggap itu adegan seksual yang hanya pantas dilakukan oleh suami istri?
Bukan hanya itu pak, di video yang lain tampak buah anggur yang digantungkan di dada wanita, dan laki-laki harus berlomba untuk menghabiskan anggur itu.
Pak Presiden, bagi saya tidak masalah mau itu dilakukan oleh suami istri atau bukan, tetapi yang saya tanyakan, mengapa itu dilakukan, bahkan menjadi tontonan, atau bahkan perlombaan.
Saya seorang guru yang ikut bertanggung jawab menanamkan moral kepada peserta didik saya, namun saya harus menghadapi kenyataan lapangan yang bahkan tak pantas untuk dibicarakan.
Saya mohon dengan sangat dan hormat kepada Bapak Jokowi selaku Presiden, hentikan segala bentuk perayaan yang tidak sesuai dengan budaya kita. Mari kita jaga harga diri bangsa ini bahu-membahu.
Kita genggam erat kemerdekaan yang sesungguhnya. Kita jaga ideologi kita dengan sekuat tenaga.
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Hormat Saya,
Ari Ermawan
Subscribe to:
Posts (Atom)